Kamis, 07 Juni 2012

Adopsi





Pengangkatan Anak dalam Sistem Hukum Indonesia
(Dibuat untuk memenuhi tugas : Hukum Perdata)
Dosen pengampu : Mia Rasmiaty, SH.,Sp.1.,MH













Disusun oleh :
Rizki Gumilar (201129002)



SEKOLAH TINGGI HUKUM GARUT
Jalan Hasan Arief No.2-Garut
Telp. (0262)236615 EXT. 801-808 Garut

















             Puji beserta  syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salahsatu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam “Pengangkatan anak dalam sistem hukum Indonesia.”
Harapan kami semog amakalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


Penyusun








BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Penghargaan, penghormatan, serta perlindungan hak asasi manusia (HAM) adalah hal amat penting yang tidak mengenal ruang dan waktu. Sejak tonggak awal HAM melalui Magna Charta tahun 1215 hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia. Berbagai bentuk peraturan yang bersifat universal telah dikeluarkan dalam rangka mendukung upaya perlindungan HAM di dunia. Membicarakan masalah perlindungan akan selalu terkait dengan penegakan hukum karena perlindungan merupakan salah satu bagian dari tujuan penegakan hukum. Negara ini adalah negara yang berdasar atas hukum, maka perlindungan HAM sudah barang tentu juga merupakan tujuan penegakan hukum secara konsisten. Salah satu bidang HAM yang menjadi perhatian bersama baik di dunia internasional maupun di Indonesia adalah hak anak. Masalah seputar kehidupan anak sudah selayaknya menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan pemerintah. Saat ini, sangat banyak kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak Indonesia namun tidak mampu diwujudkan oleh negara, dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia. Kegagalan berbagai pranata sosial dalam menjalankan fungsinya ikut menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Berbagai usaha dilakukan oleh berbagai pihak demi melindungi anak, dan salah satu bentuk perlindungan itu adalah pengangkatan anak yang diharapkan dapat menjadi salah satu wujud dari usaha perlindungan anak.
Masalah pengangkatan anak bukanlah masalah baru, termasuk di Indonesia. Sejak zaman dahulu telah dilakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup dan berkembang di daerah yang bersangkutan. Meskipun orang Indonesia sebenarnya mempunyai falsafah “makan tak makan asal kumpul”, tetapi adakalanya pertimbangan itu masih kalah oleh adanya suatu harapan agar anak hidup lebih layak dengan orang yang lebih berada yaitu salah satunya dengan cara pengangkatan anak.


2.      Identifikasi Masalah
Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
a.       Bagaimanakah pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia dan sejauh apa kaitannya dengan usaha perlindungan anak ?
b.      Bagaimanakah akibat hukum terhadap pengangkatan anak dalam hukum Indonesia?

I.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Keluarga dan Waris. Selain itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk menelaah lebih jauh, menambah pemahaman serta memperluas pengetahuan mengenai pengangkatan anak dikaitkan dengan upaya perlindungan anak di Indonesia.
I.4 Manfaat
1. Secara Teoretis
Makalah ini diharapkan dapat memperluas serta menambah khazanah pengetahuan dalam bidang Hukum Keluarga khususnya mengenai hukum Pengangkatan Anak dikaitkan dengan upaya perlindungan anak di Indonesia.
2. Secara Praktis
Diharapkan uraian dalam makalah ini dapat memberikan dasar dan pengarahan dalam pemahaman mengenai hukum Pengangkatan Anak dikaitkan dengan upaya perlindungan anak di Indonesia.

BAB II
LANDASAN TEORI
1. Pengertian Pengangkatan Anak
Pengertian adopsi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan terminologi.
a. Secara Etimologi
Pengangkatan anak dengan kata lain dikenal dengan istilah adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie dalam Bahasa Belanda, atau adopt (adoption) dalam Bahasa Inggris yang berarti mengangkat anak sebagai anak kandung. Istilah tersebut dalam kenyataannya secara utuh dialihkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi adopsi yang sama artinya dengan mengangkat anak/pengangkatan anak. Jadi, penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung.
b. Secara Terminologi
Menurut Wirjono Projodikoro, anak angkat adalah seorang bukan keturunan dua orang suami istri, yang diambil dan dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri dan akibat hukum dari pengangkatan tersebut bahwa anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya, yang sama sekali tidak berbeda dengan kedudukan hukum anak keturunan sendiri1. Sedangkan menurut Poerwadarmanta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan yang biasanya dilaksanakan untuk mendapatkan ahli waris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak mempunyai anak. Akibat yang demikian itu bahwa anak yang diangkat akan memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Menurut Hilman Hadikusuma, anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan akan harta kekayaan rumah tangga.
Menurut Soerjono Soekanto, pengangkatan anak adalah sebagai suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri, atau secara umum berarti mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.2 Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata untuk pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal warisan.
Rumusan yang diberikan oleh JA. Nota yang dikutip Purnadi Purbotjaroko mengenai adopsi adalah sebagai suatu lembaga hukum yang menyebabkan seorang beralih ke hubungan kekeluargaan lain, sehingga timbul hubungan-hubungan hukum yang sah dengan orang tuanya, di Jawa Tengah pengangkatan anak menurut M.M Djojodiguno dan Raden Tirtawinata, adalah pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri.
Sementara menurut yurisprudensi putusan MA RI No 1413 K/Pdt/1988 tanggal 18 Mei 1990 jo putusan MA RI No 53 K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret 1996 Pengangkatan anak diartikan sebagai anak yang sejak lahir diurus, dipelihara, dikhitankan, disekolahkan, dikawinkan oleh orang tua angkatnya.3
Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian adopsi secara umum adalah suatu tindakan mengalihkan seseorang anak dari kekuasaan orang tua kandungnya ke dalam kekuasaan orang tua angkatnya, untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, sehingga dengan sendirinya anak angkat mempunyai hak dan kedudukan yang sama seperti anak kandung.
Pihak-pihak yang terlibat dalam hal terjadinya pengangkatan anak adalah sebagai berikut:
a. Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat.
b. Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.
c. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak.
d. Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok (badan, organisasi).
e. Pembuatan Undang-Undang yang merumuskan ketentuan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan.
f. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atu mengahambat pengangkatan anak.
g. Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya.

2. Pengertian Perlindungan Hak Anak
Secara etimologi, pengertian perlindungan hak anak dapat dilihat dari pengertian kata “perlindungan” dan kata “hak anak”. Perlindungan memiliki pengertian tempat berlindung atau bersembunyi. Kata “hak anak” memiliki bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Perlindungan terhadap anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, perlindungan anak yang baiki dan buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena mana yang relevan, yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.
Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dengan berbagai cara. Perlindungan hak asasi anak dapat diberikan dalam berbagai cara yang sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan, bimbingan, permainan dan dapat juga diberikan melalui bantuan hukum yang dinamakan advokasi dan hukum perlindungan anak.

3. Dasar Hukum Adopsi Anak
1.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Dasar hukum ini digunakan, karena dalam undang-undang ini dari Pasal 1 sampai 16 menyebutkan hak-hak anak, tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak dan usaha-usaha yang harus dilakukan untuk kesejahteraan anak. Hal-hal yang telah disebutkan tadi tidak hanya berlaku untuk anak kandung tapi juga berlaku bagi anak adopsi, karena baik anak kandung maupun anak adopsi harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama.
2.      Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Anak Asing yang belum berumur 5 (lima) tahun yang diangkat oleh seorang warga Negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak tersebut”. Pasal ini hanya berlaku bagi anak asing yang diadopsi oleh warga negara Indonesia, karena hal ini akan berkaitan dengan kewarganegaraan anak adopsi tersebut.
3.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam undang-undang ini benar-benar diatur bagaimana dalam mengusahakan perlindungan terhadap anak. Dalam undang-undang ini diatur tentang pengangkatan anak dari Pasal 39 sampai 41. Selain mengatur tentang pengangkatan anak, juga diatur tentang hak dan kewajiban anak dalam Pasal 4 sampai 19, baik anak kandung maupun anak adopsi yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pasal 39 mengatur mengenai tujuan adopsi yaitu adopsi dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan menurut adat setempat dan peraturan perundang-undangan, menyatakan juga adopsi tidak memutuskan hubungan antara anak yang diadopsi dan orang tua kandungnya. Dalam proses adopsi agama calon orang tua adopsi dan calon anak adopsi harus sama, apabila asal usul orang tua kandung tidak diketahui, maka agama anak akan disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Adopsi yang dilakukan oleh warga negara asing adalah merupakan upaya terakhir yang dapat dilakukan untuk anak yang bersangkutan. Pasal 40 mengatur bahwa “setiap orang tua adopsi wajib untuk memberitahukan asal usul orang tua kandung anak kepada anak yang bersangkutan, tetapi dalam pemberitahuannya dilihat dari situasi, kondisi dan kesiapan anak.” Sementara, Pasal 41 mengatur bahwa “pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan adopsi anak.“
4.      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
Dasar hukum ini digunakan dalam adopsi anak dan pengangkatan anak, karena tujuan pengadopsian anak dan pengangkatan anak adalah agar kehidupan dan kesejahteraan anak dapat terpenuhi. Dalam undang-undang ini, Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 dalam proses mensejahterakan anak terdapat campur tangan pemerintah, masyarakat dan yayasan atau organisasi sosial. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 yaitu “Setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial”. Ini berarti bahwa anak adopsi juga berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupannya dan setiap orang dan negara wajib ikut serta dalam mewujudkan kesejahteraan tersebut.
5.      Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak
Bagi anak yang mempunyai masalah dalam Peraturan Pemerintah ini diatur usaha-usaha untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak-anak yang mempunyai masala dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Agar dapat mensejahterakan anak-anak tersebut adopsi anak dapat menjadi salah satu solusi terbaik.
6.      Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1989 tentang Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak.
Dalam Surat Edaran ini menyebutkan syarat-syarat pengangkatan anak, permohonan pengesahan pengangkatan anak, pemeriksaan di pengadilan dan lain-lain.
7.      Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan “Convention on the Right of the Child” (Konvensi tentang Hak-Hak Anak)
Dasar hukum ini digunakan, karena dalam konvensi tentang Hakhak Anak disebutkan, anak berhak mendapat perlindungan, kesempatan, dan fasilitas untuk berkembang secara sehat dan wajar, mendapat jaminan sosial, mendapatkan pendidikan dan perawatan dan lain-lain. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut adopsi adalah salah satu cara yang sesuai.

b. Dasar hukum adopsi anak secara khusus oleh Dinas Kesejahteraan Sosial.
1.      Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980 tentang Organisasi Sosial Dasar hukum ini mengatur tentang organisasi-organisasi sosial, termasuk yayasan sosial yang bertugas dalam menangani adopsi anak.
2.      Keputusan Menteri Sosial Nomor 58/HUK/1985 tentang TIM
Pertimbangan Perijinan Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Inter Country Adoption Keputusan Menteri Sosial ini mengatur tentang perizinan pengangkatan anak atau adopsi akan yang dilakukan antar WNI dan WNA.

Sistem Hukum tersebut di atas, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing di mana pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak lebih menekankan pada pengaturan mengenai segala sesuatu yang dilakukan orang tua dan pemerintah demi terciptanya kesejahteraan anak. Undang-undang ini juga mengatur mengenai sanksi yang dijatuhkan pada orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagai orang tua, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Sanksi yang dimaksud adalah pencabutan hak kuasa asuh sebagai orang tua terhadap anaknya, dalam hal ini yang
ditunjuk orang atau badan sebagai wali. Adanya pasal yang mengatur mengenai sanksi ini dapat digunakan sebagai alat untuk membuat efek jera bagi orang tua yang tidak melakukan tanggungjawabnya terhadap anaknya. Ada 1 (satu) pasal dalamUndang-Undang ini yang mengatur mengenai pengangkatan anak, bahwa dalam pencapaian kesejahteraan anak, pengangkatan anak boleh dilakukan tetapi dalam hal ini tidak diatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengangkatan anak tersebut, baik tata cara maupun prosedur dalam proses pengangkatan anak.
Selain itu, ada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mengatur mengenai keadaan anak yang dapat memiliki kewarganegaraan Indonesia. Undang-Undang ini tidak mengatur adopsi anak, yang ada adalah kewarganegaraan anak asing yang diangkat oleh orang Warga Negara Indonesia. Undang-Undang lain mengenai anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak. Undang-Undang ini lebih menekankan hak-hak anak yang wajib diberikan orang tua sebelum anak tersebut mencapai usia dewasa. Undang-Undang ini mengatur tanggung jawab orang tua, pemerintah dan negara terhadap anak demi terciptanya asas perlindungan anak yang diharapkan dari Undang-Undang ini. Sanksi terhadap orang tua juga telah diatur dalam Undang-Undang ini, di mana sanksi akan pencabutan hak asuh dapat dilakukan oleh pengadilan apabila orang tua telah melalaikan tanggungjawabnya kepada anak. Saksi tersebut sama dengan sanksi yang ada dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, hanya saja pengaturan tentang pengangkatan anak sebagai upaya perlindungan anak baik tata cara pelaksanaannya maupun prosedurnya juga tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Selain Undang-Undang tersebut di atas, Undang-Undang lain yaitu Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang ini tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai pasal per pasalnya, karena hanya menekankan usaha-usaha pemerintah demi terwujudnya suatu sistem jaminan sosial yang menyeluruh. Keterangan lebih lanjut keterangan lebih lanjut mengenai upaya-upaya yang dimaksud Pemerintah untuk perwujudan jaminan sosial yang menyeluruh. Jadi, pada Undang-Undang ini hanya secara umum diatur mengenai Kesejahteraan Umum. Pengaturan mengenai Kesejateraan anak secara khusus tidak ada.
Selain Undang-Undang, ada juga Peraturan Pemerintah yang mengatur menganai anak, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah. Dalam Undang-Undang ini lebih menekankan pada anak yang mempunyai masalah secara umum, tetapi ada pula pasal yang mengatur bahwa anak yang mempunyai masalah tersebut dapat diasuh oleh pihak lain. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa adopsi adalah sarana untuk mendapatkan hak anak dan mencapai Asas Perlindungan Anak. Meskipun demikian, pengaturan mengenai pelaksanaan adopsi juga belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Dalam Konvensi Hak Anak atau Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pun juga demikian, lebih menekankan pada hak yang harus diterima oleh anak dan tugas negara dalam melakukan upaya-upaya untuk kepentingan terbaik bagi anak dan demi kesejahteraan anak. Belum ada satu pasalpun dalam Undang-Undang ini yang mengatur mengenai masalah pengangkatan anak sebagai salah satu upaya demi kepentingan terbaik anak, dan sanksi yang dijatuhkan bagi orang tua yang telah lalai dalam menjalankan tanggung jawabnya terhadap anak juga belum ada.
Selain sistem hukum tersebut di atas, terdapat juga Keputusan Menteri yang mengatur mengenai tugas dan tanggung jawab Dinas Kesejahteraan Sosial serta yayasan-yasan yang bertugas dalam menangani adopsi anak, yaitu Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980 tentang Organisasi Sosial. Dalam Keputusan Menteri Sosial ini. Dalam Keputusan Menteri Sosial ini juga disebutkan juga bertujuan untuk kesejahteraan anak.
Keputusan Menteri Sosial yang mengatur mengenai masalah adopsi anak adalah Keputusan Menteri Sosial Nomor 58/HUK/1985 tentang TIM Pertimbangan Perijinan Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Inter Country Adoption. Dalam Keputusan Menteri ini jelas mengatur tentang pemberian ijin untuk mengadopsi anak berbeda warga negara, sehingga adopsi antar WNI dan WNA diperbolehkan. Jadi, untuk masalah kesejahteraan anak bersifat universal, tidak ada pembedaan untuk warga Negara.
Berdasarkan sistem hukum mengenai adopsi anak tersebut di atas, jelas bahwa kebanyakan peraturan yang mengatur mengenai anak bertujuan demi kesejahteraan anak, meskipun dari semua peraturan tidak mengatur lebih lanjut pelaksanaan mengenai cara-cara yang diperlukan dalam mencapai kesejahteraan anak tersebut, salah satunya yaitu adopsi. Dalam sistem hukum tersebut belum ada yang mengatur mengenai adopsi dan tata cara pelaksanaan adopsi, sehingga adopsi dapat dilakukan dengan benar tanpa adanya kesalahan dari pihak manapun yang nantinya bertujuan mengeksploitasi anak masih sulit dalam pembuktiannya.














BAB III
PEMBAHASAN

II.1 Pengangkatan Anak di Indonesia dan Kaitannya dengan Upaya Perlindungan Anak
Arif Gosita mendefinisikan pengangkatan anak sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak. Arif Gosita menyebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunya dampak perlindungan anak apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:4
a. Diutamakan pengangkatan anak yatim piatu.
b. Anak yang cacat mental, fisik, sosial.
c. Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu mengelola keluarganya.
d. Bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga antara anak dan orang tua kandung sepanjang hayat.
e. Hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya.

Faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengangkatan anak sebagai berikut:
a. Subyek yang terlibat dalam perbuatan mengangkat anak.
b. Alasan atau latar belakang dilakukannya perbuatan tersebut, baik dari pihak adoptan (yang mengadopsi) maupun dari pihak orang tua anak.
c. Ketentuan hukum yang mengatur pengangkatan anak.
d. Para pihak yang mendapat keuntungan dan kerugian dalam pengangkatan anak.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak, pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah hal paling utama. Selanjutnya, harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Dan yang paling akhir mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat. Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa. Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan
pengangkatan anak.
Pengadilan harus merasa yakin atas alasan-alasan calon orang tua angkat untuk mengadopsi seorang anak. Setelah diadopsi, lembaga pemantau atau pengawas harus melakukan kontrol secara berkala. Seharusnya kita memiliki lembaga yang memantau pra dan pasca diadopsinya anak. Apabila lembaga pemantau dapat menjalankan tugas dengan baik, maka kondisi anak yang diadopsi bisa terkontrol, sehingga apabila ada 'ketidakberesan' akan segera tercium dan orang tua angkatnya dapat diminta pertanggunggjawaban.
Pengawasan diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan atau pelanggaran dalam proses adopsi. Seharusnya, untuk ke depan dibentuk suatu lembaga pengawas untuk mengontrol jalannya adopsi anak. Pihak-pihak yang perlu diawasi adalah orang perseorangan, lembaga pengasuhan, rumah sakit bersalin, praktek-praktek kebidanan, dan panti sosial pengasuhan anak. Terhadap orang perorangan dan lembaga pengasuhan dilakukan karena dalam beberapa kasus terungkap adanya jual beli bayi, bahkan oleh lembaga pengasuhan anak berkedok yayasan. Apabila dilihat dari rangkaian pelaksanaan adopsi di Indonesia, lembaga adopsi tidak lepas dari gerak dan dinamika sosial dan sistem peradatan masyarakat lingkungan hukum, di mana adopsi itu terjadi.
Sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang juga mempunyai fungsi sosial yang tidak kecil artinya terhadap keluarga dan dampaknya kepada masyarakat keseluruhan, maka eksistensi adopsi sebagai suatu lembaga hukum perlu mendapatkan tempat yang jelas. Hal ini mengingat bahwa adopsi atau pengangkatan anak ini disamping telah dikenal dan dilakukan di Indonesia yang semula bertujuan untuk meneruskan garis keturunan dalam suatu keluarga, akan tetapi dewasa ini adopsi telah dilakukan pula demi kemanusiaan.

II.2 Akibat Hukum Terhadap Pengangkatan Anak
Secara legal, adopsi atau pengangkatan anak dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Hal ini berimplikasi secara hukum, sedangkan adopsi ilegal adalah adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua kandung anak. Jika, seorang anak diadopsi secara legal, maka setelah pengangkatan ada akibat hukum yang ditimbulkan, seperti hak perwalian dan pewarisan.
Sejak putusan diucapkan oleh Pengadilan, maka orang tua angkat menajdi wali dari anak angkat tersebut. Sejak itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung teralih pada orang tua angkat. Kecuali, bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam, bila ia akan menikah maka yang bisa jadi wali nikah hanyalah orang tua kandungnya atau saudara sedarahnya. Dalam hal ini perkawinan siapapun orangnya yang melangsungkan perkawinan di Indonesia, maka ia harus tunduk pada hukum atau Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak.
Menurut hukum adat, bila menggunakan lembaga adat penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang peranta, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya. Oleh karena itu, selain mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya.
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Sementara dalam Staatblaat 1979 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan anak tersebut maka terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut. Secara otomatis hak dan kewajiban seorang anak angkat itu sama dengan anak kandung, dan anak angkat berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak kandung orang tua angkat. Anak angkat juga berhak mengetahui asal usulnya. Karena itu, orang tua angkat wajib menjelaskan tentang asal muasalnya kepada si anak angkat, tak perlu khawatir si anak lalu akan kembali kepada orang tua kandungnya.









BAB IV
PENUTUP

IV.1Simpulan
1.      Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak. Arif Gosita menyebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunya dampak perlindungan anak apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Diutamakan pengangkatan anak yatim piatu.
b. Anak yang cacat mental, fisik, sosial.
c. Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu mengelola keluarganya.
d. Bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga antara anak dan orang tua kandung sepanjang hayat.
e. Hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya.

2.      Secara legal, adopsi atau pengangkatan anak dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Hal ini berimplikasi secara hukum, sedangkan adopsi ilegal adalah adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua kandung anak. Jika, seorang anak diadopsi secara legal, maka setelah pengangkatan ada akibat hukum yang ditimbulkan, seperti hak perwalian dan pewarisan. Sejak putusan diucapkan oleh Pengadilan, maka orang tua angkat menajdi wali dari anak angkat tersebut. Sejak itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung teralih pada orang tua angkat. Kecuali, bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam, bila ia akan menikah maka yang bisa jadi wali nikah hanyalah orang tua kandungnya atau saudara sedarahnya. Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Sementara dalam Staatblaat 1979 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan anak tersebut maka terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.














DAFTAR PUSTAKA
Soerjono, Soekanto. Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti. Bandung. 1989
Mustofa SY, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2008, hal 15
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademika Pressindo CV, 1984



1 komentar:

  1. assalamualaikum kak?
    maaf kak gimana ya kak caranya masukin makalah di blog.
    trims

    BalasHapus