Pengangkatan
Anak dalam Sistem Hukum Indonesia
(Dibuat untuk memenuhi tugas : Hukum Perdata)
Dosen pengampu : Mia
Rasmiaty, SH.,Sp.1.,MH
Disusun oleh :
Rizki Gumilar (201129002)
SEKOLAH TINGGI HUKUM GARUT
Jalan Hasan Arief No.2-Garut
Puji beserta syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salahsatu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam “Pengangkatan anak dalam sistem hukum Indonesia.”
Harapan
kami semog amakalah
ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya
dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik
Makalah
ini kami akui masih
banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu kami harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Penghargaan, penghormatan, serta
perlindungan hak asasi manusia (HAM) adalah hal amat penting yang tidak
mengenal ruang dan waktu. Sejak tonggak awal HAM melalui Magna Charta tahun
1215 hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia. Berbagai bentuk
peraturan yang bersifat universal telah dikeluarkan dalam rangka mendukung
upaya perlindungan HAM di dunia. Membicarakan masalah perlindungan akan selalu
terkait dengan penegakan hukum karena perlindungan merupakan salah satu bagian
dari tujuan penegakan hukum. Negara ini adalah negara yang berdasar atas hukum,
maka perlindungan HAM sudah barang tentu juga merupakan tujuan penegakan hukum
secara konsisten. Salah satu bidang HAM yang menjadi perhatian bersama baik di
dunia internasional maupun di Indonesia adalah hak anak. Masalah seputar
kehidupan anak sudah selayaknya menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan
pemerintah. Saat ini, sangat banyak kondisi ideal yang diperlukan untuk
melindungi hak-hak anak Indonesia namun tidak mampu diwujudkan oleh negara,
dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia. Kegagalan berbagai pranata sosial
dalam menjalankan fungsinya ikut menjadi penyebab terjadinya hal tersebut.
Berbagai usaha dilakukan oleh berbagai pihak demi melindungi anak, dan salah
satu bentuk perlindungan itu adalah pengangkatan anak yang diharapkan dapat menjadi
salah satu wujud dari usaha perlindungan anak.
Masalah pengangkatan anak bukanlah
masalah baru, termasuk di Indonesia. Sejak zaman dahulu telah dilakukan
pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan
sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup dan berkembang di daerah yang
bersangkutan. Meskipun orang Indonesia sebenarnya mempunyai falsafah “makan tak
makan asal kumpul”, tetapi adakalanya pertimbangan itu masih kalah oleh adanya
suatu harapan agar anak hidup lebih layak dengan orang yang lebih berada yaitu
salah satunya dengan cara pengangkatan anak.
2.
Identifikasi
Masalah
Dalam penulisan makalah ini,
permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
a.
Bagaimanakah
pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia dan sejauh apa kaitannya dengan
usaha perlindungan anak ?
b.
Bagaimanakah
akibat hukum terhadap pengangkatan anak dalam hukum Indonesia?
I.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya adalah
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Keluarga dan Waris. Selain itu,
penulisan makalah ini bertujuan
untuk menelaah lebih jauh, menambah pemahaman serta memperluas pengetahuan mengenai pengangkatan anak
dikaitkan dengan upaya perlindungan anak di Indonesia.
I.4 Manfaat
1. Secara
Teoretis
Makalah ini diharapkan dapat memperluas serta
menambah khazanah pengetahuan dalam
bidang Hukum Keluarga khususnya mengenai hukum Pengangkatan Anak dikaitkan
dengan upaya perlindungan anak di Indonesia.
2. Secara
Praktis
Diharapkan uraian dalam makalah ini dapat memberikan
dasar dan pengarahan dalam pemahaman mengenai hukum Pengangkatan
Anak dikaitkan dengan upaya perlindungan anak di Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
1.
Pengertian Pengangkatan Anak
Pengertian adopsi dapat dilihat dari
dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan terminologi.
a. Secara Etimologi
Pengangkatan anak dengan kata lain
dikenal dengan istilah adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie dalam Bahasa Belanda, atau adopt (adoption) dalam Bahasa Inggris yang berarti
mengangkat anak sebagai anak kandung. Istilah tersebut dalam kenyataannya secara utuh
dialihkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi adopsi
yang sama artinya dengan mengangkat anak/pengangkatan anak. Jadi, penekanannya pada persamaan
status anak angkat dari hasil pengangkatan anak
sebagai anak kandung.
b. Secara Terminologi
Menurut Wirjono Projodikoro, anak
angkat adalah seorang bukan keturunan dua orang suami istri, yang diambil dan
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri dan akibat hukum
dari pengangkatan tersebut bahwa anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap
yang mengangkatnya, yang sama sekali tidak berbeda dengan kedudukan hukum anak
keturunan sendiri1. Sedangkan menurut Poerwadarmanta
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia anak angkat adalah anak orang lain yang
diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Pengangkatan anak adalah suatu cara
untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
pengaturan perundang-undangan yang biasanya dilaksanakan untuk mendapatkan ahli
waris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak mempunyai anak.
Akibat yang demikian itu bahwa anak yang diangkat akan memiliki status sebagai
anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Menurut Hilman
Hadikusuma, anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh
orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan
kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan akan harta kekayaan rumah tangga.
Menurut Soerjono Soekanto,
pengangkatan anak adalah sebagai suatu perbuatan mengangkat anak untuk
dijadikan anak sendiri, atau secara umum berarti mengangkat seseorang dalam
kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah
didasarkan pada faktor hubungan darah.2 Adopsi
harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata untuk
pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan sama
dengan anak kandung dalam hal warisan.
Rumusan yang diberikan oleh JA. Nota
yang dikutip Purnadi Purbotjaroko mengenai adopsi adalah sebagai suatu lembaga
hukum yang menyebabkan seorang beralih ke hubungan kekeluargaan lain, sehingga
timbul hubungan-hubungan hukum yang sah dengan orang tuanya, di Jawa Tengah
pengangkatan anak menurut M.M Djojodiguno dan Raden Tirtawinata, adalah
pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari
orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi itu dilakukan sedemikian rupa,
sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri.
Sementara menurut yurisprudensi
putusan MA RI No 1413 K/Pdt/1988 tanggal 18 Mei 1990 jo putusan MA RI No 53
K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret 1996 Pengangkatan anak diartikan sebagai anak yang
sejak lahir diurus, dipelihara, dikhitankan, disekolahkan, dikawinkan oleh
orang tua angkatnya.3
Berdasarkan rumusan tersebut di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian adopsi secara umum adalah suatu
tindakan mengalihkan seseorang anak dari kekuasaan orang tua kandungnya ke
dalam kekuasaan orang tua angkatnya, untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai
anak kandungnya sendiri, sehingga dengan sendirinya anak angkat mempunyai hak
dan kedudukan yang sama seperti anak kandung.
Pihak-pihak yang terlibat dalam hal terjadinya pengangkatan anak adalah
sebagai berikut:
a. Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat.
b. Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.
c. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak.
d. Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok (badan,
organisasi).
e. Pembuatan Undang-Undang yang
merumuskan ketentuan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan.
f. Anggota keluarga masyarakat lain,
yang mendukung atu mengahambat pengangkatan anak.
g. Anak yang diangkat, yang tidak
dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan
dirinya.
2. Pengertian Perlindungan Hak Anak
Secara etimologi, pengertian perlindungan
hak anak dapat dilihat dari pengertian kata “perlindungan” dan kata “hak anak”.
Perlindungan memiliki pengertian tempat berlindung atau bersembunyi. Kata “hak
anak” memiliki bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Perlindungan terhadap anak adalah
suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan
saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, perlindungan anak yang baiki dan buruk,
tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena mana yang relevan,
yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.
Perlindungan hak asasi anak adalah
meletakkan hak anak ke dalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat,
sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang
mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dengan
berbagai cara. Perlindungan hak asasi anak dapat diberikan dalam berbagai cara
yang sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan,
bimbingan, permainan dan dapat juga diberikan melalui bantuan hukum yang
dinamakan advokasi dan hukum perlindungan anak.
3. Dasar Hukum Adopsi Anak
1.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Dasar hukum ini digunakan, karena dalam undang-undang ini dari Pasal 1
sampai 16 menyebutkan hak-hak anak, tanggung jawab orang tua terhadap
kesejahteraan anak dan usaha-usaha yang harus dilakukan untuk kesejahteraan
anak. Hal-hal yang telah disebutkan tadi tidak hanya berlaku untuk anak kandung
tapi juga berlaku bagi anak adopsi, karena baik anak kandung maupun anak adopsi
harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama.
2.
Undang-Undang
Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Anak Asing yang belum berumur 5
(lima) tahun yang diangkat oleh seorang warga Negara Republik Indonesia,
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu
dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat
anak tersebut”. Pasal ini hanya berlaku bagi anak asing yang diadopsi oleh
warga negara Indonesia, karena hal ini akan berkaitan dengan kewarganegaraan
anak adopsi tersebut.
3.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam undang-undang ini benar-benar diatur bagaimana dalam mengusahakan
perlindungan terhadap anak. Dalam undang-undang ini diatur tentang pengangkatan
anak dari Pasal 39 sampai 41. Selain mengatur tentang pengangkatan anak, juga
diatur tentang hak dan kewajiban anak dalam Pasal 4 sampai 19, baik anak
kandung maupun anak adopsi yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pasal 39
mengatur mengenai tujuan adopsi yaitu adopsi dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan menurut adat setempat dan peraturan
perundang-undangan, menyatakan juga adopsi tidak memutuskan hubungan antara
anak yang diadopsi dan orang tua kandungnya. Dalam proses adopsi agama calon
orang tua adopsi dan calon anak adopsi harus sama, apabila asal usul orang tua kandung
tidak diketahui, maka agama anak akan disesuaikan dengan agama mayoritas
penduduk setempat. Adopsi yang dilakukan oleh warga negara asing adalah
merupakan upaya terakhir yang dapat dilakukan untuk anak yang bersangkutan.
Pasal 40 mengatur bahwa “setiap orang tua adopsi wajib untuk memberitahukan
asal usul orang tua kandung anak kepada anak yang bersangkutan, tetapi dalam
pemberitahuannya dilihat dari situasi, kondisi dan kesiapan anak.” Sementara,
Pasal 41 mengatur bahwa “pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam bimbingan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan adopsi anak.“
4.
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
Dasar hukum ini digunakan dalam adopsi anak dan pengangkatan anak,
karena tujuan pengadopsian anak dan pengangkatan anak adalah agar kehidupan dan
kesejahteraan anak dapat terpenuhi. Dalam undang-undang ini, Pasal 1 sampai
dengan Pasal 12 dalam proses mensejahterakan anak terdapat campur tangan
pemerintah, masyarakat dan yayasan atau organisasi sosial. Seperti yang
disebutkan dalam Pasal 1 yaitu “Setiap warganegara berhak atas taraf
kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak
mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial”. Ini berarti bahwa
anak adopsi juga berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupannya dan
setiap orang dan negara wajib ikut serta dalam mewujudkan kesejahteraan
tersebut.
5.
Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak
Bagi anak yang mempunyai masalah dalam Peraturan Pemerintah ini diatur
usaha-usaha untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak-anak yang mempunyai masala
dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Agar dapat mensejahterakan anak-anak
tersebut adopsi anak dapat menjadi salah satu solusi terbaik.
6.
Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak jo Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 1989 tentang Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 3 tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak.
Dalam Surat Edaran ini menyebutkan syarat-syarat pengangkatan anak,
permohonan pengesahan pengangkatan anak, pemeriksaan di pengadilan dan
lain-lain.
7.
Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan “Convention on the Right of
the Child” (Konvensi tentang
Hak-Hak Anak)
Dasar hukum ini digunakan, karena dalam konvensi tentang Hakhak Anak
disebutkan, anak berhak mendapat perlindungan, kesempatan, dan fasilitas untuk
berkembang secara sehat dan wajar, mendapat jaminan sosial, mendapatkan
pendidikan dan perawatan dan lain-lain. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut
adopsi adalah salah satu cara yang sesuai.
b. Dasar hukum adopsi anak secara
khusus oleh Dinas Kesejahteraan Sosial.
1.
Keputusan
Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980 tentang Organisasi Sosial Dasar hukum
ini mengatur tentang organisasi-organisasi sosial, termasuk yayasan sosial yang
bertugas dalam menangani adopsi anak.
2.
Keputusan
Menteri Sosial Nomor 58/HUK/1985 tentang TIM
Pertimbangan Perijinan Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia
dan Warga Negara Asing Inter Country Adoption Keputusan Menteri Sosial ini
mengatur tentang perizinan pengangkatan anak atau adopsi akan yang dilakukan
antar WNI dan WNA.
Sistem Hukum tersebut di atas,
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing di mana pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak lebih menekankan pada pengaturan
mengenai segala sesuatu yang dilakukan orang tua dan pemerintah demi
terciptanya kesejahteraan anak. Undang-undang ini juga mengatur mengenai sanksi
yang dijatuhkan pada orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya
sebagai orang tua, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan
dan perkembangan anak. Sanksi yang dimaksud adalah pencabutan hak kuasa asuh
sebagai orang tua terhadap anaknya, dalam hal ini yang
ditunjuk orang atau badan sebagai
wali. Adanya pasal yang mengatur mengenai sanksi ini dapat digunakan sebagai
alat untuk membuat efek jera bagi orang tua yang tidak melakukan tanggungjawabnya
terhadap anaknya. Ada 1 (satu) pasal dalamUndang-Undang ini yang mengatur
mengenai pengangkatan anak, bahwa dalam pencapaian kesejahteraan anak,
pengangkatan anak boleh dilakukan tetapi dalam hal ini tidak diatur lebih
lanjut mengenai pelaksanaan pengangkatan anak tersebut, baik tata cara maupun
prosedur dalam proses pengangkatan anak.
Selain itu, ada Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mengatur mengenai
keadaan anak yang dapat memiliki kewarganegaraan Indonesia. Undang-Undang ini
tidak mengatur adopsi anak, yang ada adalah kewarganegaraan anak asing yang
diangkat oleh orang Warga Negara Indonesia. Undang-Undang lain mengenai anak
yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak. Undang-Undang
ini lebih menekankan hak-hak anak yang wajib diberikan orang tua sebelum anak
tersebut mencapai usia dewasa. Undang-Undang ini mengatur tanggung jawab orang
tua, pemerintah dan negara terhadap anak demi terciptanya asas perlindungan
anak yang diharapkan dari Undang-Undang ini. Sanksi terhadap orang tua juga
telah diatur dalam Undang-Undang ini, di mana sanksi akan pencabutan hak asuh
dapat dilakukan oleh pengadilan apabila orang tua telah melalaikan
tanggungjawabnya kepada anak. Saksi tersebut sama dengan sanksi yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, hanya saja
pengaturan tentang pengangkatan anak sebagai upaya perlindungan anak baik tata
cara pelaksanaannya maupun prosedurnya juga tidak diatur dalam Undang-Undang
ini.
Selain Undang-Undang tersebut di atas,
Undang-Undang lain yaitu Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang ini tidak ada
keterangan lebih lanjut mengenai pasal per pasalnya, karena hanya menekankan
usaha-usaha pemerintah demi terwujudnya suatu sistem jaminan sosial yang
menyeluruh. Keterangan lebih lanjut keterangan lebih lanjut mengenai
upaya-upaya yang dimaksud Pemerintah untuk perwujudan jaminan sosial yang
menyeluruh. Jadi, pada Undang-Undang ini hanya secara umum diatur mengenai
Kesejahteraan Umum. Pengaturan mengenai Kesejateraan anak secara khusus tidak
ada.
Selain Undang-Undang, ada juga
Peraturan Pemerintah yang mengatur menganai anak, yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai
Masalah. Dalam Undang-Undang ini lebih menekankan pada anak yang mempunyai
masalah secara umum, tetapi ada pula pasal yang mengatur bahwa anak yang
mempunyai masalah tersebut dapat diasuh oleh pihak lain. Hal ini sejalan dengan
pemikiran bahwa adopsi adalah sarana untuk mendapatkan hak anak dan mencapai
Asas Perlindungan Anak. Meskipun demikian, pengaturan mengenai pelaksanaan
adopsi juga belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Dalam Konvensi Hak Anak atau Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pun juga demikian, lebih menekankan pada hak yang
harus diterima oleh anak dan tugas negara dalam melakukan upaya-upaya untuk
kepentingan terbaik bagi anak dan demi kesejahteraan anak. Belum ada satu
pasalpun dalam Undang-Undang ini yang mengatur mengenai masalah pengangkatan
anak sebagai salah satu upaya demi kepentingan terbaik anak, dan sanksi yang
dijatuhkan bagi orang tua yang telah lalai dalam menjalankan tanggung jawabnya
terhadap anak juga belum ada.
Selain sistem hukum tersebut di atas,
terdapat juga Keputusan Menteri yang mengatur mengenai tugas dan tanggung jawab
Dinas Kesejahteraan Sosial serta yayasan-yasan yang bertugas dalam menangani
adopsi anak, yaitu Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980 tentang
Organisasi Sosial. Dalam Keputusan Menteri Sosial ini. Dalam Keputusan Menteri
Sosial ini juga disebutkan juga bertujuan untuk kesejahteraan anak.
Keputusan Menteri Sosial yang mengatur
mengenai masalah adopsi anak adalah Keputusan Menteri Sosial Nomor 58/HUK/1985
tentang TIM Pertimbangan Perijinan Pengangkatan Anak Antar Warga Negara
Indonesia dan Warga Negara Asing Inter Country Adoption. Dalam Keputusan
Menteri ini jelas mengatur tentang pemberian ijin untuk mengadopsi anak berbeda
warga negara, sehingga adopsi antar WNI dan WNA diperbolehkan. Jadi, untuk
masalah kesejahteraan anak bersifat universal, tidak ada pembedaan untuk warga
Negara.
Berdasarkan sistem hukum mengenai
adopsi anak tersebut di atas, jelas bahwa kebanyakan peraturan yang mengatur
mengenai anak bertujuan demi kesejahteraan anak, meskipun dari semua peraturan
tidak mengatur lebih lanjut pelaksanaan mengenai cara-cara yang diperlukan
dalam mencapai kesejahteraan anak tersebut, salah satunya yaitu adopsi. Dalam
sistem hukum tersebut belum ada yang mengatur mengenai adopsi dan tata cara
pelaksanaan adopsi, sehingga adopsi dapat dilakukan dengan benar tanpa adanya
kesalahan dari pihak manapun yang nantinya bertujuan mengeksploitasi anak masih
sulit dalam pembuktiannya.
BAB III
PEMBAHASAN
II.1 Pengangkatan Anak di Indonesia dan
Kaitannya dengan Upaya Perlindungan Anak
Arif Gosita mendefinisikan
pengangkatan anak sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku
di masyarakat yang bersangkutan.
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan
anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan
harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak. Arif Gosita menyebutkan bahwa
pengangkatan anak akan mempunya dampak perlindungan anak apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:4
a. Diutamakan pengangkatan anak yatim
piatu.
b. Anak yang cacat mental, fisik,
sosial.
c. Orang tua anak tersebut memang
sudah benar-benar tidak mampu mengelola keluarganya.
d. Bersedia memupuk dan memelihara
ikatan keluarga antara anak dan orang tua kandung sepanjang hayat.
e. Hal-hal lain yang tetap
mengembangkan manusia seutuhnya.
Faktor-faktor yang perlu mendapat
perhatian dalam pengangkatan anak sebagai berikut:
a. Subyek yang terlibat dalam
perbuatan mengangkat anak.
b. Alasan atau latar belakang
dilakukannya perbuatan tersebut, baik dari pihak adoptan (yang mengadopsi)
maupun dari pihak orang tua anak.
c. Ketentuan hukum yang mengatur
pengangkatan anak.
d. Para pihak yang mendapat keuntungan
dan kerugian dalam pengangkatan anak.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak,
pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah hal paling utama. Selanjutnya,
harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya
diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan bagi pihak-pihak lain
yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Dan yang paling akhir
mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat. Sepanjang proses tersebut,
anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang
dewasa. Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke
arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah
karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan
pengangkatan anak.
Pengadilan harus merasa yakin atas
alasan-alasan calon orang tua angkat untuk mengadopsi seorang anak. Setelah
diadopsi, lembaga pemantau atau pengawas harus melakukan kontrol secara
berkala. Seharusnya kita memiliki lembaga yang memantau pra dan pasca
diadopsinya anak. Apabila lembaga pemantau dapat menjalankan tugas dengan baik,
maka kondisi anak yang diadopsi bisa terkontrol, sehingga apabila ada
'ketidakberesan' akan segera tercium dan orang tua angkatnya dapat diminta
pertanggunggjawaban.
Pengawasan diperlukan untuk
mengantisipasi terjadinya penyimpangan atau pelanggaran dalam proses adopsi.
Seharusnya, untuk ke depan dibentuk suatu lembaga pengawas untuk mengontrol
jalannya adopsi anak. Pihak-pihak yang perlu diawasi adalah orang perseorangan,
lembaga pengasuhan, rumah sakit bersalin, praktek-praktek kebidanan, dan panti
sosial pengasuhan anak. Terhadap orang perorangan dan lembaga pengasuhan
dilakukan karena dalam beberapa kasus terungkap adanya jual beli bayi, bahkan
oleh lembaga pengasuhan anak berkedok yayasan. Apabila dilihat dari rangkaian
pelaksanaan adopsi di Indonesia, lembaga adopsi tidak lepas dari gerak dan
dinamika sosial dan sistem peradatan masyarakat lingkungan hukum, di mana
adopsi itu terjadi.
Sebagai suatu lembaga kemasyarakatan
yang juga mempunyai fungsi sosial yang tidak kecil artinya terhadap keluarga
dan dampaknya kepada masyarakat keseluruhan, maka eksistensi adopsi sebagai
suatu lembaga hukum perlu mendapatkan tempat yang jelas. Hal ini mengingat
bahwa adopsi atau pengangkatan anak ini disamping telah dikenal dan dilakukan
di Indonesia yang semula bertujuan untuk meneruskan garis keturunan dalam suatu
keluarga, akan tetapi dewasa ini adopsi telah dilakukan pula demi kemanusiaan.
II.2 Akibat Hukum Terhadap Pengangkatan Anak
Secara legal, adopsi atau pengangkatan
anak dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Hal ini berimplikasi
secara hukum, sedangkan adopsi ilegal adalah adopsi yang dilakukan hanya
berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua
kandung anak. Jika, seorang anak diadopsi secara legal, maka setelah
pengangkatan ada akibat hukum yang ditimbulkan, seperti hak perwalian dan
pewarisan.
Sejak putusan diucapkan oleh
Pengadilan, maka orang tua angkat menajdi wali dari anak angkat tersebut. Sejak
itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung teralih pada orang tua
angkat. Kecuali, bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam, bila ia akan
menikah maka yang bisa jadi wali nikah hanyalah orang tua kandungnya atau saudara
sedarahnya. Dalam hal ini perkawinan siapapun orangnya yang melangsungkan
perkawinan di Indonesia, maka ia harus tunduk pada hukum atau Undang-Undang
Perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama,
artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan
pewarisan bagi anak.
Menurut hukum adat, bila menggunakan
lembaga adat penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang
berlaku. Bagi keluarga yang peranta, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak
otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya.
Oleh karena itu, selain mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia
juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya.
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak
tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan ahli waris dari
orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.
Sementara dalam Staatblaat 1979 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak
adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan
sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat. Artinya, akibat
pengangkatan anak tersebut maka terputus segala hubungan perdata yang
berpangkal pada keturunan kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak
tersebut. Secara otomatis hak dan kewajiban seorang anak angkat itu sama dengan
anak kandung, dan anak angkat berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak
kandung orang tua angkat. Anak angkat juga berhak mengetahui asal usulnya.
Karena itu, orang tua angkat wajib menjelaskan tentang asal muasalnya kepada si
anak angkat, tak perlu khawatir si anak lalu akan kembali kepada orang tua
kandungnya.
BAB IV
PENUTUP
IV.1Simpulan
1.
Dalam
rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal
yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak.
Arif Gosita menyebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunya dampak
perlindungan anak apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Diutamakan pengangkatan anak yatim
piatu.
b. Anak yang cacat mental, fisik,
sosial.
c. Orang tua anak tersebut memang
sudah benar-benar tidak mampu mengelola keluarganya.
d. Bersedia memupuk dan memelihara
ikatan keluarga antara anak dan orang tua kandung sepanjang hayat.
e. Hal-hal lain yang tetap
mengembangkan manusia seutuhnya.
2.
Secara
legal, adopsi atau pengangkatan anak dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan
Negeri. Hal ini berimplikasi secara hukum, sedangkan adopsi ilegal adalah
adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang
mengangkat dengan orang tua kandung anak. Jika, seorang anak diadopsi secara
legal, maka setelah pengangkatan ada akibat hukum yang ditimbulkan, seperti hak
perwalian dan pewarisan. Sejak putusan diucapkan oleh Pengadilan, maka orang
tua angkat menajdi wali dari anak angkat tersebut. Sejak itu pula, segala hak
dan kewajiban orang tua kandung teralih pada orang tua angkat. Kecuali, bagi
anak angkat perempuan yang beragama Islam, bila ia akan menikah maka yang bisa
jadi wali nikah hanyalah orang tua kandungnya atau saudara sedarahnya. Dalam
hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan
darah, hubungan ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap
memakai nama dari ayah kandungnya. Sementara dalam Staatblaat 1979 No. 129,
akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum
memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan anak tersebut maka
terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan kelahiran,
yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Soerjono, Soekanto. Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti. Bandung. 1989
Mustofa SY, Pengangkatan Anak Kewenangan
Pengadilan Agama, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2008, hal 15
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak,
Jakarta: Akademika Pressindo CV, 1984
assalamualaikum kak?
BalasHapusmaaf kak gimana ya kak caranya masukin makalah di blog.
trims